SUBANG,MMN.CO – Kultur perilaku korup dan pungutan liar (pungli) birokrasi di negeri ini kian hari kian kompleks dan parah. Korupsi dan pungli sepertinya sudah menjadi budaya tersendiri dan virusnya telah menjalar nyaris ke seluruh sendi birokrasi dan lembaga pemerintahan di negeri tercinta ini.
Ironisnya, pelakunyapun tak hanya kaum elit pejabat birokrat dan politisi saja di level pemerintahan pusat, tapi seakan tak mau kalah oknum pelakunya pun merambah di kalangan pegawai pemerintahan level bawah.
Konkritnya, praktik korupsi dan pungli kebanyakan berada pada area kantor pelayanan publik. Tak sedikit kepentingan masyarakat yang dijadikan obyek para pelaku korupsi dan pungli. Para oknum biasanya bermain untuk memenuhi syahwat pribadinya dengan mencari keuntungan dari pungli di luar prosedur yang berlaku.
Tanpa disadarai, buruknya praktik korupsi dan pungli ini tidak hanya mengurangi kredibiltas pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun juga mengganggu jalannya aktivitas ekonomi masyarakat.
Upaya untuk memberangus praktik pungli khususnya, tak kurang Presiden RI Jokowi telah menerbitkan PP No.87 tahun 2016. Dengan PP itu Presiden akan menyapu bersih dan menindak tegas praktek pungli melalui Tim Saber Pungli yang telah dibentuk.
Namun di saat pemerintah sedang gencar menindak praktik pungli, pihak-pihak seperti aparat Desa, KUA dan jajarannya di Kabupaten Subang, Prov.Jawa Barat sepertinya bebas berkeliaran menjalankan praktik tercela ini.
Seperti apa fenomena jebakan korupsi dan pungli di instansi milik pemerintah yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik ini?
Keterangan dari berbagai sumber dan hasil investigasi selama dua pekan terakhir diperoleh MMN.CO menyebutkan, bila oknum aparat Desa dan jajaran pegawai KUA di wilayah Pantura khususnya diduga melakukan pungli biaya pernikahan. Calon kedua mempelai dikutip kisaran Rp.1.2 juta hingga 1,5 juta , padahal PP 48 tahun 2014 menetapkan hanya Rp.600 ribu saja, itupun jika pernikahan dilakukan di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
Bahkan bila pernikahan atau rujuk dilakukan di kantor KUA dan pada jam kerja, tidak dikenakan biaya sepeserpun. Begitu pula bagi warga tidak mampu/atau korban bencana alam yang nikah atau rujuk di luar kantor tidak dikenakan biaya alias gratis.
Seorang warga penduduk Desa Karangsari (Kec.Binong) Alexander (bukan nama sebenarnya) yang hendak melangsungkan pernikahan putranya selepas hari Raya Idul Fitri nanti, biaya pernikahan dikutip Amil Desa setempat Sup (60 th) sebesar Rp.1,3 juta. Biaya sebesar itu disetor ke Bank Rp.600,-ribu, iuran BP4 (Badan Pembinaan Pelestarian Pernikahan) Rp.100,-ribu, biaya Administrasi pembuatan Rekomendasi di Kecamatan sebesar Rp.25 ribu, apabila pendaftaran pernikahan waktunya kurang dari 10 hari. Selebihnya untuk ngurus surat numpang Nikah, buat Desa, buat RT/RW/Kadus, transport Penghulu.
Berbeda keterangan Amil Desa Sukareja Sayuti (Kec.Sukasari). pihaknya mengutip biaya sebesar Rp.1,2 juta, pendistribusiannya hampir sama dengan Desa-desa di Kec.Binong. “ Disetor ke Bank Rp.600.000,- untuk iuran BP4 sebesar Rp.100,-ribu, Surat-surat Keterangan Desa (SKD) sebesar Rp.80.000,-, Adm Kecamatan (Rekomendasi) Rp.25.000,- selebihnya uang saku RT/RW/Kadus, penghulu. Kutipan besaran biaya sudah hasil kesepakatan dengan Desa-desa lain dan sudah berlangsung lama,” ujarnya.
Pernyataan senada, Amil Desa Mandalawangi (Kec.Sukasari). “ Besaran pungutan biaya Nikah dan rujuk di Desa-desa di Kecamatan wilayah Pantura (Kec.Legonkulon, Pamanukan, Pusakanagara, Pusakajaya, Ciasem, Blanakan, Patokbeusi) hampir sama, karena ini hasil kesepakatan bersama,” ujarnya.
Sementara pengeluaran bervariasi sesuai kondisi di desanya masing-masing, diakuinya dari kutipan biaya pernikahan diminta iuran oleh Desa untuk pembelian kursi rapat Desa sebesar Rp.75,-ribu/mempelai.
Sinyalemen adanya praktik pungli itu, kata aktivis Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi-RI (LI-TPK RI) Kab.Subang Samsudin Rasyid,SH.saat dimintai tanggapan di kantornya (7/6), berdasarkan fakta lapangan tampaknya sudah sedemikian terbuka. Namun pihak-pihak yang terlibat didalamnya terkesan tutup mulut, bahkan sejumlah oknum diantaranya menganggap bila praktek kotor itu dianggap lumrah.
Pihaknya juga menyesalkan adanya pihak Desa yang masih mengutip biaya jasa layanan administrasi yang meliputi Surat Pengantar, Surat Rekomendasi dan Surat-surat Keterangan. padahal sejak di terbitkannya Permendes PDTT No.1 tahun 2015, pungutan jasa layanan itu dilarang. “ Jika Desa masih memungut biaya jasa layanan administrasi itu artinya pungli. Dan Pungli bagian dari perbuatan korupsi,” tandasnya.
Untuk itu terkait biaya pernikahan yang membengkak pihaknya mendesak kepada Tim Saber Pungli Kabupaten Subang, agar menindak tegas praktik pungli yang diduga terjadi di tubuh KUA dan Pemerintah Desa, pugkasnya. (@BH/US)