SUBANG, MMN.CO – Isu miring terkait Mutasi, Rotasi dan Promosi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, yang diduga sarat dengan aroma KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) kian hangat jadi perbincangan dan menjadi sorotan publik.
Dalam hal ini Bupati Subang Hj. Imas Aryumningsih dituding banyak kalangan elemen masyarakat telah mengangkangi rambu-rambu terkait pelaksanaan Mutasi, Rotasi dan Promosi Pejabat di Pemerintah Kabupaten Subang.
“Tiada hari tanpa Mutasi dan Rotasi “, barangkali sindiran itu yang kerap terdengar di kalangan masyarakat, sehingga banyak pihak menuding proses mutasi dan rotasi hanya dijadikan mesin ATM Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM). Maka tak heran, bila institusi ini kerap menggelar mutasi, lantaran disitu area menyulap produknya menjadi pundi-pundi uang, ucap narasumber yang identitasnya minta dirahasiakan kepada MMN.CO saat dimintai tanggapan.
“Tengok saja sejak periode Januari – Juli 2017 sudah melakukan mutasi, rotasi dan promosi empat kali, yakni 30 Desember 2016, 16 Juni 2017, 6 Juli2017 dan 24 Juli 2017,” katanya.
Dari Narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa institusi BKPSDM kerap diplesetkan sebagai Badan Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia ini, seolah berubah fungsi bagai ‘Pasar Swalayan’ yang mengacu pada kebijakan untung rugi dan menggunakan mekanisme Sempoa.
“Yang membedakan, bila Pasar Swalayan sungguhan dagangan yang dijajakan beraneka ragam natura kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya… sedangkan konsumennya semua kalangan,” terangnya.
Sementara itu di institusi ini, komoditi yang dipasarkan secarik kertas berharga mulai dari SK Kenaikan pangkat, Eselon jabatan Struktural, Jabatan Fungsional, Pendidikan Kedinasan/penjejangan kerir, Penyesuaian Ijazah (PI), Mutasi, Perpanjangan Jabatan, Pensiun dan sebagainya.
“Konsumennya khusus kalangan para PNS di lingkup Pemkab Subang,” ucap sumber yang sangat mengetahui seluk beluk di BKPSDM panjang lebar kepada MMN.CO, Sabtu (29/7/2017).
Lebih dari itu sang sumber menambahkan, bahwa terkait gelaran mutasi, rotasi dan promosi untuk menduduki kursi jabatan mulai eselon IV, III dan II sudah dibandrol sesuai dengan kompetensinya, mulai dari tarif puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.
Indikasi ini seperti disuarakan sejumlah Ormas dan LSM pengunjuk rasa beberapa waktu silam di perkantoran Pemkab dan DPRD Subang. Menurut mereka kini warga Kabupaten Subang mulai krisis kepercayaan terhadap pejabat Eksekutif dan DPRD Subang, pasalnya sudah banyak pejabat yang duduk di eksekutif dan legislatif terlibat korupsi seperti terungkap dalam persidangan kasus mantan Bupati Subang Ojang Sohandi.
Para pejabat terkesan hanya ingin memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, sehingga tindakan peras memeras sesama pejabatpun kerap dilakukan.
Disebut-sebut uang suap dari PNS yang baru kena mutasi, rotasi dan promosi yang dihimpun dr. Ar (merupakan anak kandung Bupati yang kini menjabat Sekretaris RSUD Ciereng) dan ULM (Mantan Pejabat Pemkab Subang juga sebagai Sekjen DPD Golkar) di sekitar Rest Area Jalan Tol Cipali. Mereka yang terkena mutasi dikutip uang antara Rp.50 juta hingga Rp.200 jutaan.
Koordinator aksi yang tergabung dalam Komunitas Anak Muda Peduli Anti Korupsi (KAMPAK) Asep Sumarna Toha menuntut tegaknya UUD dan UU Tipikor. Dikatakannya, Kampak sangat mendukung penegakkan supremasi hukum seperti KPK dan Hakim Pengadilan Tipikor Bandung supaya segera menyeret semua pejabat Subang yang terlibat korupsi seperti disebut-sebut di fakta persidangan perkara mantan Bupati Ojang Sohandi.
KAMPAK mendesak dam menuntut Pemkab dan DPRD Subang bersikap tegas, untuk mengusut mafianya dan mengkaji ulang ihwal rotasi, mutasi dan promosi yang didasarkan pada kompotensi dan kapabilitas pegawai yang bersangkutan.
Dari penelusuran dan keterangan berbagai sumber dihimpun MMN.CO dan temuan Aktifis Lembaga Investigasi – Tindak Pidana Korupsi Aparatur Negara RI (LI-TPKAN RI) Kabupaten Subang Syamsudin Rosid, SH menyebutkan, bahwa kebobrokan aparat Pemkab Subang lebih disebabkan pada penempatan pegawai/pejabat yang tidak proporsional dan profesional di bidangnya (Right man in the right place). Pada akhirnya hal ini berimbas pada minimnya pelayanan publik dan sulitnya akses masyarakat untuk mendapat pelayanan memadai. Selain itu ditengarai menjadi penyebab lambannya laju pembangunan di berbagai bidang.
Disebut-sebut dalam mengangkat pejabat, Penentu kebijakan kurang memperhatikan aspek normatif dan memfungsikan peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), tetapi cenderung lebih pada faktor 3 D (Duit, Dekat, Dulur), bukan atas dasar kompetensi atau Daftar Urutan Kepangkatan (DUK). Eksesnya, nyaris di seluruh SKPD dihuni oleh pejabat/ pegawai yang linglung bak “ Tikus Kebingungan” yang bekerja seolah hanya untuk mengeruk keuntungan semata guna menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya.
Ilustrasi terkait carut marutnya pengangkatan/ penempatan pejabat itu tercermin seperti pengangkatan sejumlah Camat yang dinilai melanggar regulasi. Antara lain mengabaikan Pasal 224 Ayat (2) UU 23/2014. Di SE Mendagri No.821.27/3938/SJ, tanggal 24 Juli 2015, tentang Persyaratan Pengangkatan Camat dijelaskan Bupati/ Walikota wajib mengangkat Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai ketentuan perundang-undangan.
Sementara itu yang dimaksud pengetahuan teknis pemerintahan dibuktikan dengan Ijazah Diploma/ Sarjana pemerintahan atau Sertifikat Profesi Kepamongprajaan. Ijazah Diploma/ Sarjana pemerintahan dikeluarkan oleh perguruan tinggi, baik Negeri atau Swasta yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) dan mempunyai jurusan atau program studi ilmu pemerintahan.
Secara tegas Mendagri dalam SE melarang Bupati/ Walikota mengangkat Camat yang tidak menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dalam rangka menjaga efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Selain sarat tadi untuk menduduki jabatan Camat pernah bertugas di Desa/ Kelurahan atau Kecamatan minimal 2 (dua) tahun.
Namun faktanya di lapangan terdapat sejumlah Camat yang disiplin ilmunya bukan dari pemerintahan diantaranya Camat Cijambe, Kasomalang, Ciater, Ciasem, Kalijati, Pusakajaya, Purwadadi, bahkan ada Camat yang pengalaman kerja di lapangan kurang dari dua tahun.
Ironisnya lagi pengangkatan Camat karena kedekatan keluarga (famili) dengan Pejabat teras Pemkab, kendati dipastikan menyalahi pola karir. Sebut saja Camat Ciasem Kurtubi, lantaran yang bersangkutan adik Sekda Abdurahman yang notabene Ketua Baperjakat sehingga melenggang saja.
Kasus lainnya ditemukan, kedapatan pejabat Eselon IV A di instansi Kecamatan, tapi masih Gol III/B, mestinya menurut ketentuan serendahnya Gol III/C (PP No.13/2002), namun lantaran familinya orang nomor satu Subang maka duduklah di kursi empuk itu.
Temuan lainnya di sejumlah Instansi/ SKPD, kedapatan pejabat yang diangkat menduduki eselon lebih tinggi, dengan pangkat lebih rendah dibanding dengan bawahannya berpangkat tinggi, tapi eselonnya rendah.
Kejanggalan lainnya diketahui ihwal sejumlah pejabat struktural yang berdinas di sebuah instansi melebihi kelaziman waktu, terkesan seumur hidup. Padahal regulasinya mengatur antara 2 hingga maksimal 5 tahun sudah mutasi (Pasal 9 Ayat (2) PP.No.13/2002), konon menurut sumber bisa bertahan lantaran diduga ber-KKN. Jabatan itu diantaranya diduduki Kepala BKPSDM Hj. Nina Herlina, Camat Pusakanagara Ela Nurlela dan lainnya.
Yang lebih menggelikan lagi, ada pejabat yang dirotasi/mutasi 30 Desember 2016 bersamaan sebanyak 965 orang, tetapi orangnya sudah meninggal. Kejadiannya dialami Toto (Alm) Kasubag Keuangan Kecamatan Compreng dimutasi ke Kecamatan Cipunagara dengan SK Bupati dalam jabatan sama, padahal yang bersangkutan sudah meninggal dunia sekitar 2-3 bulan sebelumnya.
Berbeda dengan pengakuan sejumlah calon Camat yang gagal dilantik. Mereka mengaku sudah mendapat undangan dan hadir di tempat pelantikan dengan berpakain ala Pejabat Camat lengkap dengan topi junglenya. Namun sangat disayangkan namanya tidak disebut saat dibacakan SK pengangkatannya.
“Saya langsung pulang dengan rasa malu dan prihatin mendalam,” ungkap salah seorang Camat.
Gambaran peristiwa diatas itu menandakan betapa carut marutnya fenomena mutasi dan rotasi itu. Ada apa sebenarnya? Calon Camat itu mengaku kalah bersaing oleh rivalnya. Namun tidak menjelaskan secara rinci, dia hanya memberi isyarat dengan menggesekan tapak jempol dan jari telunjuknya.
Menanggapi tuduhan miring terkait pelaksanaan mutasi, Bupati Subang Hj. Imas Aryumningsih seuasai pelantikan menyangkal. Imas mengklaim pelaksanaan mutasi berlangsung sangat selektif dan normatif.
“ Saya jamin, enggak ada yang namanya pola 3D , (Dulur, Duit dan Deukeut), dalam mutasi dan rotasi merupakan kebutuhan bagi sebuah organisasi dan semuanya sudah sesuai ketentuan yang berlaku, tanpa ada iming-iming tertentu,” terang Bupati Subang.
Namun pada kenyataannya ketika berlangsung proses mutasi dan rotasi dipastikan ada yang suka dan tidak suka itu sudah menjadi konsekuensi logis. Bagi PNS harus menerima, karena pada saat disumpah menjadi pegawai siap melaksanakan tugas demi kepentingan organisasi.
Selanjutnya Imas meminta para pejabat yang baru dilantik segera menyesuaikan dengan lingkungan kerjanya dan melakukan perbaikan administrasi serta penataan aset, agar Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) dari BPK untuk LKPD tahun 2016 bisa meningkat menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di tahun mendatang.(@Bh)