Gulir ke bawah untuk membaca
Contoh Gambar di HTML

#
#
Nasional

KPK JABAR Surati Presiden dan DPR Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

×

KPK JABAR Surati Presiden dan DPR Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini
73 Pengunjung

MetroMediaNews.co – Ketua Umum Komite Pencegahan Korupsi Jawa Barat (KPK JABAR) Piar Pratama SH melayangkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR tentang hal penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.

Piar mengatakan, pihaknya sepakat dengan Buruh dan Mahasiswa untuk menolak OMNIBUSLAW CIPTA KERJA yang dirasa telah melukai rakyat, khususnya kaum buruh.

“Dalam surat itu disampaikan poin-poin yang menjadi kontroversi yaitu
Penghapusan Upah Minimum. Salah satu poin yang ditolak Serikat Buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP),” kata Piar dalam keterangan tertulis yang diterima MetroMediaNews.co, Jumat (9/10/2020).

Piar menilai, bahwa penghapusan itu sudah membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.

“Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
Maka penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH,” jelasnya.

Kemudian terkait jam lembur lebih lama. Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

Selanjutnya, kontrak seumur hidup hingga rentan PHK. Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.

Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.

“Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha dinilai bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu,” terangnya.

Lebih dari itu, pemotongan waktu istirahat, Piar menuturkan bahwa pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama,” ucapnya.

Perekrutan TKA, dalam hal ini KPK JABAR bersama Buruh sangat menentang. Seperti diketahui mempermudah Perekrutan TKA
Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja.

Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.

“Maka dari itu KPK JABAR secara tegas satu suara dengan Buruh dan Mahasiswa menolak Omnibus Law Cipta Kerja,” tandasnya.

Editor: Red
Penulis: Dedy R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *