MetroMediaNews.Co – Salah satu produk kebijakan reformasi adalah adanya desentralisasi kekuasaan dan keuangan kepada daerah. Namun hal itu tidak lalu melahirkan kebijakan pro rakyat, tapi fakta empirisnya lebih mengabdi kepada dirinya dan kepentingan kelompoknya, sehingga lahirlah apa yang kerap disebut desentralisasi korupsi.
Desentralisasi kekuasaan (Otonomi Daerah/Desa) telah melahirkan raja-raja kecil di daerah/Desa (Penguasa-Red) yang kerap menyalah gunakan wewenangnya/kekuasaan (abuse of fower), sehingga berimplikasi memporak poranda tatanan birokrasi dan menyengsarakan rakyat memang tak terbantahkan. Seperti kodratnya bila kekuasaan cenderung korup itu bukan isapan jempol belaka.
Jika ada yang mengatakan bila penyakit Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sudah menjalar hingga ke tingkat pedesaan. Fenomena ini memang telah lama berlangsung, hanya saja ada yang mencuat dan ada pula yang tidak muncul ke permukaan.
Setidaknya dugaan perbuatan KKN itu kini tengah melanda di tubuh Pemerintahan Desa di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, terkait pengelolaan keuangan desa yang bersumber dari dana-dana transper tahun 2017 (Dana Desa, ADD, Banprov, dsb) yang berpotensi merugikan keuangan Negara hingga milyaran rupiah.
Hal ini dipicu akibat cenderung adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh oknum Kepala Desa dan lemahnya pengawasan pihak berkompeten sejak dari tahap perencanaan hingga kegiatan berlangsung, penerapan sanksi hukum yang tidak tegas serta jauhnya rentang kendali pengawasan, sehingga Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD) seakan nyaris tidak terpantau.
Pengeleolaan keuangan desa seharusnya merujuk pada asas-asas transparansi, akuntabel, partisipatif tertib dan disiplin anggaran sebagaimana diamanatkan Undang-undang Desa dan Peraturan pelaksanaannya serta UU Keterbukaan Informasi publik. Namun aspek-aspek itu disinyalir diabaikan oleh mayoritas para Kepala Desa.
Adanya indikasi dugaan penyimpangan keuangan desa yang bersumber dari dana transper seperti Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), Banprov dan Bantuan Keuangan Pemkab untuk Desa/Kelularahan (BKUD/K), seperti dirilis DPD Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK) RI Prov. Jawa Barat melalui Devisi investigasi yang monitoring bersama wartawan MMN di sejumlah desa secara acak, beberapa pekan lalu.
Koordinator Tim Investigasi GNPK-RI A Sutisna membeberkan, bagi desa-desa yang telah merampungkan kegiatan disinyalir fisiknya hanya diterapkan kisaran 80% bahkan 70% saja, dana selebihnya diduga dijadikan bancakan oknum tidak bertanggung jawab.
Adapun modus operandi untuk menjarah dana program itu dengan cara mengurangi volume fisiknya, pengadaan matrial tidak sesuai standar pekerjaan (Spek) tekanis dan RAB, mark up upah HOK.
Penyebab lain penyimpangan keuangan desa, lantaran adanya pembiaran kebijakan administrasi (Joki pembuatan SPJ dan atau SPJ fiktip), secara langsung ini menghalalkan tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat membuat administrasi bodong (aspal-Red) itu dianggap telah melakukan kebohongan public, sehingga terancam dipidana.
Sutisna kemudian mengutip Pasal 242 ayat (1) KUHP, bahwa barangsiapa dalam hal peraturan Undang-undang memerintahkan supaya memberi keterangan atas sumpah atau mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut , dengan sengaja memberikan keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau dengan surat, oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk untuk itu pada khususnya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, pungkasnya.
Sebagai testimoni, akibat adanya dugaan penyelewengan dana program itu, tak sedikit kepala Desa yang berurusan dengan hukum. Berdasarkan data yang diperoleh Jaya Pos, Kepala Desa Rancabango (Kec.Patokbeusi) Lukman Hakim,SE telah diponis oleh Pengadilan Tipikor, terbukti melakukan korupsi keuangan Desa (DD,ADD,BKUD/K), kini mendekam di hotel prodeo menjalani masa hukuman di Lapas Sukamiskin Bandung.
Sementara sejumlah desa yang kini sedang diselidiki Tipikor Polres Subang, diantaranya Desa Dukuh, Sukamandi jaya, Ciasem tengah (Kec.Ciasem); Desa Compreng, Desa Kalensari (Kec. Compreng), Desa Wanajaya (Kec. Tambakdahan), Desa Sukasari, Sukamaju (Kec.Sukasari), Desa Kebondanas (Kec. Pusakajaya), Desa Pusakaratu (Kec. Puakanagara), Desa Padamulya (Kec.Cipunagara), Desa Balimbing (Kec. Pagaden Barat), Desa Pasirbungur (Kec. Purwadadi).
Sementara temuan serupa yang dilansir LSM Perak diantaranya Desa Tanjungrasa (Kec. Patokbeusi), Ciasem tengah, Sukamandi jaya, Rancaasih, Rancamulya, Pringkasap, Purwadadi timur, Panyingkiran, Kasomalang kulon, Bantarsari, Padamulya, Prapatan, Wanajaya, Tanjungrasa (Kec. Tambakdahan), Neglasari, Rancaudik, Sukamulya, Compreng dan Bendungan.
Di lain pihak, lemahnya pengawasan lebih disebabkan dari peran dan tupoksi yang kurang maksimal dilakukan Camat terkait pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa yaitu berkenaan fasilitasi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban serta fasilitasi administrasi keuangan desa.
“Hal itu bisa dibuktikan dari pengerjaan administrasi pengelolaan keuangan desa yang dicatat di Buku Kas Umum (BKU), terkesan tidak tertib. Bahkan kedapatan desa yang tidak mengerjakan BKU sesuai Juklak dan Juknis, sehingga menyulitkan pengawasan,” tandas Sutisna mengutip sumber di sejumlah Kecamatan.
Begitupun peran Inspektorat daerah, dinilai tidak mampu berbuat apa-apa ketika ada dugaan penyimpangan di tubuh birokrasi pemerintahan. Fungsi dan peran Inspektorat daerah dalam rangka pemberantasan korupsi di daerah sangat sulit diharapkan. Kerja dan kinerjanya selama ini tidak efektip, karena secara struktural maupun personal badan tersebut tidak netral.
Instansi ini cenderung lebih berpihak pada eksekutip, mengungkap ‘borok’ berokrasi berarti mengungkap ‘aib’ teman sendiri dan itulah yang sangat dihindari Inspektorat daerah.
Semakin maraknya pejabat daerah/desa yang tersandung korupsi, ini menunjukkan bila Inspektorat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias mandul. Jangankan menjadi lembaga kontrol yang efektip, mencegah dan menindak penyimpangan aparat birokrasi justru menjadi bagian dari masalah dalam tindak penyimpangan di birokrasi.
Akan halnya keberadaan Tim Pengawal,Pengamanan, Pembangunan dan Pemerintah Daerah (TP4D) yang berperan lebih mengedepankan pengawasan secara preventip juga belum berfungsi sebagaimana diharapkan.
Untuk menyikapi dan menindaklanjuti fenomena itu, pentolan ORMAS Forum Ekonomi dan Sosial Masyarakat (PESOMAS) Dedi Supriatna yang bermarkas di Jl Raya Gardusayang, komplek Kantor Pos & Giro Cisalak-Subang mendesak, agar aparat penegak hukum segera turun tangan melakukan penyelidikan untuk menemukan fakta hukum. Adili dan beri hukuman setimpal bagi oknum yang terbukti terlibat agar ada efek jera.
(abh)