Metromedianews.co – Paulus Gemma Galgani, SH, MH selaku tim Kuasa Hukum MS (inisial) dari Kantor Hukum JM & Partners Law Office mengatakan bahwa setiap tindakan yang menyebabkan kerugian anak adalah tindakan diskriminasi ilegal.
Hal itu disampaikan Paulus usai mendampingi kliennya (MS) yang seorang Warga Negara Asing (WNA) yang datang dan mengadu ke Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Rabu 15 Maret 2023, terkait permasalahan yang dihadapinya yakni larangan akses bertemu anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya. Sekitar 2 tahun lamanya yang bersangkutan tidak dapat bertemu dengan anaknya secara tatap muka.
“KPAI bekerja luar biasa di seluruh Indonesia dan kami terpacu dengan ucapan ibu Ai Maryati Solihah bahwa KPAI akan terus melakukan program-program strategis dalam mewujudkan Indonesia yang ramah anak dan terjaminnya hak-hak anak,” ujar Paulus kepada awak media, Kamis (16/3/2023).
“Kami berharap dalam masalah ini KPAI bisa membantu dan memediasi antara MS (bapak-red) dan S (ibu-red) agar anak M segera pulih hukum dan hak asasinya,” tambah Paulus.
Selain itu, kata Paulus, dua Psikolog anak telah mempelajari kasus ini secara detail, dan mereka telah menulis laporan yang menyatakan dengan jelas bahwa M (anak MS dan S) telah dan terus menderita banyak kerugian.
“Psikolog anak juga menyatakan dalam laporannya bahwa anak M adalah korban penelantaran,” ucapnya.
Padahal dalam UU No.35 tahun 2014, memperjelas bahwa semua anak berbakat harus diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya. Dan M adalah Cadet Pilot yang sangat berbakat yang ingin terbang untuk Garuda Indonesia. Bahkan sejak usia 8 tahun M telah belajar terbang dalam simulator Airbus A320.
Selain Cadet Pilot berbakat, anak M juga musisi yang berbakat dan tidak di izinkan untuk mengikuti pelajaran musik atau melatih keterampilan musik maupun latihan Cadet.
“Tidak mengizinkan M untuk belajar terbang dan melatih keterampilannya sebagai penerbang sangat keterlaluan dan itu suatu perbuatan melawan hukum di bawah UU No.35 tahun 2014,” jelasnya.
Diketahui bahwa anak M telah ditawari pelajaran terbang dengan simulator Boeing 737, tetapi sayangnya S tidak mengizinkan anak M untuk mengambil pelajaran tersebut. Padahal beberapa bulan lagi, saat anak M menginjak usia 12 tahun, ia sudah bisa mulai terbang dengan simulator di Garuda Training Center.
Anak bukanlah objek yang dimiliki oleh orang tuanya, lanjut Paulus, dan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala sesuatu yang dilakukan harus selalu demi kepentingan terbaik bagi anak.
“Faktanya, anak M ditanya langsung oleh hakim pada Januari 2020. Mau apa? Anak M menyatakan dengan jelas bahwa dia telah menyuruh mami untuk membatalkan perceraian agar dia bisa pulang,” katanya.
Sementara itu Jericho Mandahari, SH menegaskan, setiap orang tua yang tidak menjamin hak anaknya menurut hukum ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan dapat memiliki kuasa asuh orang tua yang dapat dicabut. Hal ini juga jelas dari Surat Edaran Mahkamah Agung no.1 tahun 2017, bahwa jika ada orang tua yang membatasi akses orang tua lainnya kepada anaknya, maka Hak Asuh dapat dicabut.
Ironisnya dalam masalah ini, S setuju menghadiri mediasi di KPAI untuk membahas hak anak M. Namun sayangnya, S tidak pernah menghadiri pertemuan mediasi.
“Kami juga tahu bahwa UNICEF Indonesia melakukan pekerjaan besar untuk anak-anak di Indonesia dan mempromosikan hak-hak anak seperti yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak. Oleh karena itu kami berharap dapat segera bertemu dengan UNICEF Indonesia untuk mempelajari lebih lanjut tentang karya hebat mereka di Indonesia dan mempromosikannya lebih lanjut Konvensi Hak-hak Anak,” ungkapnya.
“Semoga kasus M ini akan membantu lebih banyak orang untuk memahami hak-hak dan keadilan bagi anak di Indonesia,” tandasnya.
(Dedy)