METROMEDIANEWS.CO – Ratusan pengunjuk rasa warga Desa Kalensari, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, menggerudug kantor Kejaksaan Negeri Subang, Senin pekan lalu.
Aksi mereka mendesak Kajari agar segera memproses kasus hukum Kepala Desanya H Sangkul yang sudah mengendap lebih dari setahun, tepatnya yang dilaporkan sejak 24 Januari 2017.
Mereka mengancam, bila Kajari Subang masih tidak menggubris aspirasinya mereka akan melakukan demo dengan pengerahan massa lebih besar lagi, ungkap Korlap Nain dan Jana saat ditemui MMN di sela-sela demo.
Massa ketika berorasi mendapat pengawalan ketat dari Dalmas Polres Subang dan anggota Satpol PP, namun dari pantauan lapangan tidak menimbulkan kemacetan
Massa yang menggunakan kendaraan roda empat diantaranya mobil Colt bak terbuka yang dilengkapi sound sistem, datang di kantor Kejari sekira pukul 09.30 WIB.
Sejumlah orator secara bergiliran berorasi diatas kendaraan. “Tegakan keadilan, usut tuntas dugaan korupsi di Desa Kalensari, tangkap koruptor, dana DD untuk membangun bukan untuk pribadi, pecat Kades Kalensari ,” pekiknya.
Sementara massa lainnya membentangkan sejumlah spanduk yang berisi hujatan terhadap kepala Desanya yang dituding menyelewengkan keuangan Desa dan menyalahgunakan wewenangnya (abuse of power).
Sesaat kemudian, para perwakilan pendemo dipersilahkan memasuki gedung Kejari Subang untuk beraudensi. Mereka langsung diterima Kepala Kejari Subang Chandra Yahya Wello, SH.MH yang didampingi Kasi Pidsus Taufik Efendi,SH. dan Humas Polres Subang AKP Udi Sahudi.
Dalam kesimpulan audensi pihak Kejaksaan meminta waktu setidaknya satu bulan kedepan untuk menangani kasus ini. Tak hanya itu pihak pengunjuk rasa juga diminta untuk melaporkan temuan data yang dianggap baru.
Menurut Nain surat pengaduan yang dilayangkan ke Kejari Subang setahun lalu dengan tembusan ke KPK dan DPRD Subang, pada intinya mengungkap seputar tidakan culas Kepala Desanya H Sangkul, diantaranya dugaan penyalahgunaan wewenang seperti pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa dan lembaga kemasyarakatan yang bernuansa kolusi dan Nepotisme.
Selain itu H Sangkul diduga korupsi keuangan desa TA 2017 baik bersumber dari pemerintah atasnya (Dana Desa, ADD, Banprov, BKUD/K dsb), maupun sumber pendapatan asli desa ( urunan desa, sewa tanah kas desa), sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/Desa ratusan juta rupiah.
Modus operandi penggerogotan dana program, tambah Nain oknum Kades Kalensari ini meminta Jatah langsung kepada TPKD (Panitia pembangunan) sebesar 20 % dari masing-masing besaran pagu sumber anggaran keseluruhan mencapai Rp.1,7 milyar lebih, terdiri Dana Desa Rp.853.887.550,-; ADD Rp.614.979.700,-; BKUD/K (Tahap-I dan II) sebesar Rp.114.386.772,- dan Banprov Rp.150.000.000,-.
Sementara tindakan mal administrasi modus operandinya menggunakan jurus pembuatan kwitansi dan nota bodong, mark up harga barang, pembengkakan volume, HOK.
Masih kata Nain yang diamini Jana, bila kasus teranyar tindakan tidak terpuji yang dilakukan Kades H Sangkul adalah melakukan pungli terkait pembuatan sertifikat massal melalui program Redistribusi. Peserta program dikutip sebesar Rp.1 juta/bidang. Sementara Desa Kalensari pada program Redistribusi tahun 2018 mendapat quota sebanyak 600 bidang.
Terkait program pembuatan Sertifikat massal, Ka Kawil Badan Pertnahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat Sri Mujitono mewanti-wanti, bila aparat BPN kabupaten/kota dan aparat desa agar tidak melakukan pungutan yang memberatkan bagi warga/peserta program. Bahkan seyogyanya bisa gratis bagi warga tak mampu, melalui subsidi pemerintah daerah, ataupun kebijakan Kepala Desa.
“Warga yang ikut program pembuatan sertifikat massal dibebaskan dari biaya pengukuran, biaya panitia, biaya pendaftaran dan transportasi petugas ukur, kecuali dibebani biaya materai, patok dan biaya warkah dari desa,” ujar Sri Mujitono di kantor BPN Kabupaten Bandung seperti dilansir PR (3/3/2018).
Menanggapi adanya unjukrasa itu, fungsionaris DPD Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK) RI Kabupaten Subang Eswanto saat dihubungi MMN (20/3), pengaduan masyarakat melalui aksi unjuk rasa itu sama artinya dengan pengawasan masyarakat.
Sesuai PP No.12/2017, Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) wajib menindaklanjuti setelah terpenuhi semua unsur laporan. APIP dan aparat Penegak hukum melakukan koordinasi dalam menangani laporan atau pengaduan setelah terlebih dahulu melakukan pengumpulan dan verifikasi data, lalu hasil koordinasi itu dituangkan dalam Berita Acara.
Jika berdasarkan hasil koordinasi ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjutnya diserahkan kepada APIP untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai administrasi pemerintahan. Sedangkan bila ditemukan bukti permulaan adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum.
“Jadi tidak ada alasan, laporan masyarakat diendapkan sepanjang terpenuhi semua unsur laporan,” tandas Eswanto.
(@bh)