MMN, CIANJUR – Agenda persidangan kasus ijazah palsu salah seorang caleg DPRD Kabupaten Cianjur mulai masuk ke dalam tahapan pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejaksaan negeri Cianjur menuntut terdakwa DF dengan hukuman dua tahun satu bulan penjara.
Jaksa menilai DF telah melanggar Pasal 520 UU Pemilu No 7 Tahun 2017, lantaran telah menggunakan ijazah palsu saat daftar menjadi calon anggota legislatif Kabupaten Cianjur. Hal itu disampaikan Jaksa dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Cianjur (10/7).
Kuasa hukum terdakwa Nadiya Wike Rahmawati mengatakan, pihaknya merasa keberatan dengan tuntutan yang telah dibacakan jaksa. Pasalnya dalam kapasitas itu, DF hanyalah korban dan pelakunya adalah pembuat Ijazah palsu itu yang sampai saat ini masih dalam pencarian.
“Klien kami hanya korban, DF bukan pembuat ijazah, klien kami hanya menggunakan, pelaku utamanya belum ditangkap sampai sekarang,” katanya.
Ia mengatakan, menyikapi tuntutan tersebut, pihaknya akan mengajukan pledoi, karena DF tidak bersalah dan harus dibebaskan dari segala tuntutan.
“Kami akan memohon kepada majelis hakim, agar klien kami dibebaskan karena klien kami tidak bersalah,” ujarnya.
Menurutnya sepanjang sidang berjalan belum ada yang bisa mengatakan DF bersalah karena belum ada putusan hakim. Jadi pihaknya mempunyai hak untuk membantah semua yang dituduhkan jaksa.
“Kami punya hak meminta majelis hakim untuk membebaskan klien kami,” ucapnya.
Adapun kuasa hukum pelapor, Sugianto mengatakan, tuntutan yang dibacakan JPU sudah sesuai, meski melihat ancaman enam tahun, dan JPU hanya menuntut dua tahun.
“Menurut saya itu sudah sesuai karena mungkin JPU telah banyak melakukan pertimbangan-pertimbangan,” paparnya.
Diakuinya selain DF juga harus ada pihak-pihak lain yang menjadi tersangka pada kasus tersebut, karena selain ada pembuat ijazah palsu, juga ada pihak-pihak lain yang meloloskan DF dalam menggunakan ijazah palsu saat mendaftar sebagai caleg.
“Memang ada orang yang diduga, yang ikut membiarkan DF menggunakan ijazah palsu,” jelasnya.
Menurutnya kata pembiaran pada kasus itu yakni ikut membiarkan orang lain melakukan kejahatan dan bisa dikenakan 55 atau 56 KUHP, karena unsurnya jelas turut serta dan memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan.
“Meskipun demikian nanti bagaimana penyidik, tapi saya yakin penyidik akan profesional dan taat akan hukum,” tukasnya.(Farhan MR)