Kehadiran media sosial di tengah kemajuan teknologi informasi seolah menjadi potret kecanggihan manusia modern dalam menciptakan layanan inovatif yang bermanfaat bagi kelancaran relasi diantara individu manusia di berbagai belahan dunia.
Pemanfaatan media sosial dalam konteks masa kini merupakan instrumen penting untuk mempermudah interaksi dan jaringan dalam berbagai aspek kehidupan. Manusia modern sekarang ini seolah tidak bisa lepas dari media sosial yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan bisnis, media aspirasi, kritik, maupun kepentingan politik demi memperoleh dukungan dari rakyat.
Melalui media sosial, manusia dengan mudah berkomunikasi dengan sejawatnya tanpa hambatan apa pun. Bisa dikatakan, bahwa saat ini umat manusia telah sampai pada penjajahan global (global colonizing), sebuah petualangan jagat alam raya maya yang melampaui realitas.
Dari kemajuan inilah, muncul berbagai harapan, euforia, dan optimisme dalam menyambut datangnya sebuah era baru (new age) yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat geografis, ideologis, dan batasan-batasan normatif-etis dalam menjelajahi dunia realitas.
Di tengah euforia kemajuan teknologi informasi, apakah media sosial yang digunakan manusia modern sekarang ini merupakan sebuah berkah atau bencana bagi terpeliharanya semangat toleransi dan keberagamaan di Indonesia? Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh semakin derasnya isu-isu negatif di media sosial yang menyebarkan api kebencian dan permusuhan antar elemen bangsa. Salah satunya adalah isu SARA yang dijadikan sebagai instrumen untuk menjatuhkan lawan politik pada pemilihan kepala daerah.
Terjadinya konflik yang diakibatkan oleh pernyataan negatif di media sosial tentu saja membutuhkan refleksi kritis dari setiap individu manusia tentang kenyataan yang terlihat dalam setiap pemanfaaan media sosial oleh semua kalangan, baik dari kalangan muda maupun kalangan usia tua. Pada satu sisi, kehadiran media sosial yang begitu menjamur ini menjadi berkah tersendiri bagi setiap orang di berbagai belahan dunia untuk melakukan komunikasi secara bebas tanpa batas dengan siapa pun. Di sisi lain, media sosial banyak juga memberikan pengaruh negatif bagi terpeliharanya semangat toleransi antar umat beragama dan tegaknya rasa persatuan dan kesatuan antar sesama bangsa.
Kehadiran media sosial yang berkembang pesat di dunia maya bisa menjadi bencana yang sangat besar tegaknya nilai-nilai toleransi dalam bingkai kebhinnekaan. Fungsi media sosial yang semestinya dipergunakan untuk kebaikan, ternyata banyak disalahgunakan untuk menyuburkan api permusuhan, kejahatan virtual, sikap intoleran, dan diskriminasi atas nama agama. Salah satu bencana media sosial yang sering disalahgunakan adalah menyebarkan api permusuhan melalui isu SARA atau sentimen yang berbau sektarianisme dan primordialisme.
Dugaan isu penistaan agama yang dilakukan Ahok menjadi cermin akan dampak negatif dari media sosial yang dipergunakan untuk menyebarkan api permusuhan dan sikap intoleran. Media sosial, seperti facebook, twitter, maupun instagram justru menjadi instrumen untuk mengobarkan semangat anti-toleransi yang disertai dengan nada kebencian dan permusuhan. Media sosial lebih banyak dimanfaatkan untuk menyebarkan isu-isu negatif yang bernada menjatuhkan dan menghina terhadap kelompok lain yang berbeda latar belakang, baik perbedaan suku, bahasa, budaya, maupun agama. Apalagi, isu-isu yang disebarkan selalu menyangkut masalah sentimen sektarianisme dan primordialisme yang mengusung api permusuhan antar umat beragama.
Sebagai bangsa yang majemuk, sudah saatnya segenap elemen bangsa dari level atas sampai bawah, mendorong pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan virus kebaikan, terutama untuk terciptanya toleransi demi perayaan keberagaman yang menjadi simbol kebhinnekaan Indonesia. Media sosial harus menjadi instrumen untuk memberikan pendidikan politik yang beradab, santun, bermartabat, dan bermoral demi tegaknya iklim demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman Nusantara. Media sosial bukan lagi sebagai jalan untuk menyuburkan api permusuhan, tetapi menjadi media yang memberikan kecerdasan.
Dengan mengusung optimisme tinggi, kita semua berharap bahwa kehadiran media sosial bukan menjadi bencana bagi tegaknya harmoni antar sesama bangsa, melainkan bisa menjadi berkah yang membawa kemaslahatan bagi setiap orang. Sudah saatnya, pemikiran untuk menyuburkan api permusuhan dengan cara menyebarkan fitnah dan perilaku rasis tidak lagi menjadi tontonan yang memalukan di tengah iklim demokrasi yang sudah hampir matang. Media sosial harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun budaya damai, saling menghormati, hidup berdampingan (koeksistensi), dan bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan diri sebagai bangsa yang luhur dan bermoral.
(Jay|Berbagai sumber)